Film G30S/PKI Diduga Sesat Sejarah, Saksi Mata: 6 Jenderal yang Diculik Tak Pernah Disiksa

Dion XT

Film Pengkhianatan G30S/PKI dikabarkan akan kembali diputar tahun ini. Bahkan, sejumlah pejabat pemerintah rencana juga akan ikut menontonnya.

Padahal, sudah banyak literatur, baik berupa catatan sejarah maupun kesaksian orang yang hidup pada masa itu yang menyebut film produksi era Orde Baru itu sebagai penyesatan sejarah dan sebagai bentuk propaganda yang sengaja diciptakan oleh Soeharto untuk melegitimasi pembantaian terhadap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orang-orang beraliran kiri, yang notabene adalah musuh politiknya pada masa itu.

Sejumlah dugaan penyesatan sejarah yang terdapat dalam film itu, antara lain adalah soal penyiksaan 6 jenderal yang diculik.

Martin Aleida, salah satu eks tahanan politik (ekstapol) 1965 yang hingga kini masih hidup, dalam memoarnya yang berjudul ‘Romantisme Tahun Kekerasan’ (2020), menulis bahwa tidak benar para jenderal disiksa (mata dicongkel dan kemaluan diiris pakai silet) sebelum dilemparkan ke dalam sumur tua di wilayah Lubang Buaya di Jakarta Timur.

“Mata mereka dicongkel. Kemaluan mereka diiris menggunakan silet. Kebohongan yang memanas-manasi, untuk membakar kebencian itu disebarkan melalui media yang di bawah kontrol angkatan darat… ” demikian tulis pria asal Asahan itu pada halaman 10.

Sosok yang paling marah atas fitnah itu adalah Bung Karno, Presiden pertama RI. Apalagi, Soekarno merujuk hasil visum et repertum enam jenderal yang tewas itu, yang keluar pada 6 Oktober 1965, yang menyatakan bahwa tidak ada kemaluan korban yang dimutilasi atau mata yang dicongkel.

“Betapa marah dan gemasnya Bung Karno menangkis fitnah tersebut, sehingga dia menggunakan kata-kata yang tak senonoh, yang tak pernah dia ucapkan seumur hidupnya…” (halaman 11).

Wijaya Herlambang, dalam disertasinya di Universitas Queensland (UQ), Australia, yang kemudian dibukukan dengan judul ‘Kekerasan Budaya Pasca 1965’ (Marjin Kiri, 2013), mengungkap bahwa upaya Orde Baru untuk melegitimasi anti-komunisme, juga dilakukan melalui jalan kesenian dan kebudayaan.

Sejumlah seniman dan budayawan dilibatkan untuk menghasilkan karya-karya yang membenarkan bahwa PKI ataupun komunis itu kejam, jahat, dan dan bertuhan. Arifin C Noor dan Arswendo Atmowiloto, termasuk di antaranya.

Bagaikan, almarhum Herlambang juga membeberkan bahwa Pemerintah Amerika Serikat berada di balik rekayasa sejarah itu. Peran Pemerintah AS dalam memerangi komunisme di Indonesia dilakukan dengan menunggangi oposisi sayap kanan yang berseberangan dengan Soekarno, yang tak lain adalah Soeharto.

“Motivasi AS sangat jelas, yaitu: pertama, AS menyadari potensi kekayaan alam Indonesia yang besar –terutama minyak– harus dikuasai. Kedua, AS waspada terhadap perkembangan PKI yang pesat sejak 1950; pasca kekalahan pada 1948. Melalui Congress for Cultural Freedom (CCF) –sebuah lembaga berpusat di Paris– CIA bekerja dengan memberikan pengaruh terhadap individu yang memiliki posisi strategis di bidang politik dan kebudayaan. Misi utama CCF adalah melepaskan tautan para seniman dan intelektual dari komunisme,” tulis Herlambang dalam bukunya itu.

Dokter Liauw Yan Siang, dokter yang mengotopsi keenam jenazah jenderal yang dibilang Soeharto disiksa, menyatakan bahwa sesuai hasil visum et repertum, keenam jasad yang ia periksa tidak mengalami penyiksaan.

Dokter Liauw adalah satu-satunya dokter yang memeriksa mayat jenderal korban penculikan pada malam 30 September 1965, kecuali jenazah ajudan Jenderal A.H Nasution, yakni Kapten Anumerta Pierre Tendean, yang diperiksa oleh Dokter Lim Joe Thay.

Wajib Dibaca Juga

Bagikan:

Tinggalkan komentar