Penanganan COVID-19 di Indonesia dinilai buruk oleh banyak pihak, termasuk oleh petugas medis. Salah satu yang paling vokal adalah dr Tirta Mandira Hudhi.
Tanpa tedeng aling-aling, dr Tirta menyebut kegagalan pemerintah selama tujuh bulan Pandemi COVID-19, terutama menyangkut kebijakan soal rapid test yang dijadikan tolok ukur bebas COVID-19 dan bahkan menjadi semacam “SIM” bagi masyarakat yang hendak berpergian.
Yang lebih anehnya, kata Tirta, pada awal pandemi, rapid test dihargai sampai Rp500 ribu, tapi sekarang bisa hanya Rp90 ribu.
“Kenapa kok dulu rapid jadi screening test? Kok jadi alat ‘SKCK’? Karena Swab lama? Kalau swab lama kenapa gak diperbanyak? Kenapa dulu mahal sekarang murah? Apa karena banyak sisa? Kan ini politik,” katanya, saat berbincang dengan Deddy Corbuzier belum lama ini.
Tirta juga menyindir Menteri Kesehatan dr Terawan Agus Putranto yang menurutnya gagal sebagai menteri.
“Meskes-menkes di luar udah pada mundur karena malu. Menkes Belanda, Brasil, Ekuador. Menkes kita maju terus pantang mundur. Hidup Pak Terawan. Jangan di-UU ITE lho ya. Saya kan bilang maju terus,” tambah Tirta.
Setelah menanggapi pernyataan Humas IDI Makassar dr Wachyudi Muchsin yang menyebut bahwa semua hasil rapid test adalah palsu, Tirta kini secara tegas menyatakan bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah dalam menangani COVID-19 bersifat politis.
“COVID ini dipengaruhi oleh politik. Buktinya, sekolah gak boleh, ibadah gak boleh, tapi Pilkada (serentak 2020) boleh,” katanya.
Tirta yang tergabung dalam Satgas COVID-19 dan juga Ikatan Dokter Indonesia (IDI), juga membeberkan bahwa banyak kebijakan yang dibuat pemerintah tidak efektif dalam menangani COVID-19. Salah satunya terkait perintah memakai masker di dalam rumah dan mobil, termasuk ketika menyetir sendiri.
“Masak sama bini lagi berhubungan badan diteriaki suruh pakai masker. Kalau saya pribadi sih gak mau menuruti itu. Saya punya logika sendiri,” katanya.
Berdasarkan pengalamannya 7 bulan di lapangan dalam menangani COVID-19, Tirta mengaku telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa masyarakat lebih butuh makan ketimbang masker.
“Masyarakat disuruh pakai masker, kalau tidak makan ya mati juga. Kalau gak kena tipus, kena kolera,” katanya.
Lebih lanjut, dr Tirta juga menyinggung soal tingginya angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia, termasuk para tenaga kesehatan. Menurutnya, hal itu harus diaudit ketika pandemi telah berakhir.
“Apakah karena APD-nya atau fasilitas gak lengkap. Kalau ada yang korupsi, kalau bisa bukan cuma hukuman mati, tapi diiris pelan-pelan,” ujarnya.
Tirta sendiri sudah tak ambil pusing bila pernyataannya akan menyinggung pihak tertentu. Ia merujuk para politisi yang bisa bicara sembarangan, termasuk soal COVID-19.
“Kalau saya bodoh amat. Makanya aku jadi politisi aja. Biar bisa ngomong apa aja,” katanya menyindir.
Jokowi Beropini Sebaliknya
Jika Tirta menganggap demikian, Presiden Jokowi justru berpendapat sebaliknya.
“Saya bisa mengatakan bahwa penanganan COVID-19 di Indonesia tidak buruk. Bahkan cukup baik,” kata Jokowi dalam video yang diunggah lewat akun media sosialnya, Minggu (4/10/2020).
Jokowi mendasarkan opininya itu dengan merujuk pada peringkat kasus COVID-19 di dunia per 2 Oktober 2020, di mana Indonesia berada di urutan ke-23 dengan jumlah kasus 295.499 ribu.
“Saya hanya bicara fakta. dalam jumlah kasus kematian, Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara-negara lain dengan jumlah penduduk besar. Kalau membandingkan ya, seperti itu. Kalau dibandingkan negara-negara yang penduduknya sedikit ya, itu tidak dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya,” katanya.
Jokowi juga mengklaim bahwa pemerintah telah melakukan banyak hal untuk menanggulangi Pandemi COVID-19.
“Banyak sekali yang pemerintah telah lakukan. Di tengah keterbatasan keuangan negara. Berapa ratus triliun yang kita kerahkan untuk mengatasi wabah maupun membantu warga,” katanya.
Mantan Wali Kota Solo itu juga menampik anggapan bahwa pemerintah mencla-mencle dalam membuat kebijakan terkait COVID-19. Ia beralasan bahwa COVID-19 adalah masalah baru.
“Setelah 7 bulan banyak yang kita pelajari. Saya menekankan pembatasan sosial, atau mini lockdown. Penyesuaian ini jangan dianggap pemerintah mencla-mencle. COVID ini masalah baru. Kita harus menyesuaikan diri mencari cara yang baik. Jangan ada yang berpolemik. Jangan ada yang membuat kegaduhan,” katanya pula.