Dulunya hanya mantan sopir angkot, pemilik nama asli Pang Djoem Phen ini menjelma menjadi orang terkaya nomor 3 di Indonesia.
Prajogo Pangestu hanyalah lulusan SMP karena keluarganya tidak mampu membiayai pendidikan selanjutnya. Ayahnya, Phang Siu On hanyalah penyadap getah karet.
Ingin memperbaiki nasib, Prajogo akhirnya merantau ke Jakarta. Sayangnya, di sana nasib belum berpihak kepadanya dan akhirnya ia beralih menjadi sopir angkot jalur Singkawang-Pontianak.
Lelah dengan profesi ini, Prajogo membuka bisnis kecil-kecilan, yaitu berjualan keperluan dapur. Nasibnya mulai berubah ketika bertemu pengusaha kayu asal Malaysia yang bernama Bong Sun On di tahun 1960an.
Bong Sun On atau yang juga dikenal sebagai Burhan Uray, mengajak dia bekerja di PT Djajanti Group sebagai pengurus Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di daerah Kalimantan Tengah.
Beberapa tahun kemudian, Burhan memindahkan PT Djajanti ke Banjarmasin dan menunjuk Prajogo sebagai General Manager Pabrik Plywood Nusantara di Gresik, Jawa Timur.
Kurang dari satu tahun, Prajogo memutuskan hengkang dari perusahaan dan mencoba bisnisnya sendiri. Bermodalkan pinjaman dari bank, dia membeli CV Pacific Lumber Coy dan menggantinya menjadi PT Barito Pacific Lumber.
Perusahaan ini kemudian dikenal sebagai salah satu perusahaan SDA terbesar di Indonesia. Prajogo terus mengembangkan jaring bisnisnya dengan mendirikan PT Chandra Asri Petrichemical Center dan PT Tri Polyta Indonesia Tbk.
Namun, dengan berbagai inovasi, perusahaannya mampu bertahan hingga saat ini dan telah digabungkan dalam platform bernama Barito Group. Kini, perusahaannya tak hanya mengurus kayu, tapi juga petrokimia, minyak sawit, hingga properti.
Di akhir tahun 2019 kemarin, Forbes menempatkan nama Prajogo Pangestu di urutan ketiga orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan US$6,1 miliar atau sekitar Rp90 triliun.
Saat ini, Prajogo harus kembali membuktikan insting bisnisnya yang diuji oleh pandemi Covid-19.